Oleh: husnun | April 27, 2011

Film Sebagai Bagian dari Media Massa

Industri film adalah industri yang tidak ada habisnya. Sebagai media massa, film digunakan sebagai media yang merefleksikan realitas, atau bahkan membentuk realitas. Cerita yang ditayangkan lewat film dapat berbentuk fiksi atau non fiksi. Lewat film, informasi dapat dikonsumsi dengan lebih mendalam karena film adalah media audio visual. Media ini banyak digemari banyak orang karena dapat dijadikan sebagai hiburan dan penyalur hobi.

Sejarah Film

Kemunculan film tak terlepas dari stimulasi yang dibawa oleh teknologi fotograf. Teknologi film sebenarnya merupakan teknologi dari lanjutan dari fotograf. Awal hadirnya inspirasi untuk membuat gambar bergerak muncul setelah seorang ilmuwan yang bekerja di Paris memotret pergerakan binatang dengan tujuan membandingkan pergerakan binatang satu dan lainnya. Dia adalah Etienne Jules Marey. Saat itu dia memotret pergerakan kuda menggunakan kamera foto. Informasi mengenai temuannya dipublis menjadi sebuah buku berjudul Animal Mechanism.

Selanjutnya, pada 1877, Seorang fotograf bernama Eardweard Muybridge disewa oleh seorang peternak kuda jutawan, Leland Stanford. Stanford hendak membuktikan taruhannya bahwa ketika berlari keempat kaki kuda di angkat ke atas tanah. Untuk itulah Muybridge kemudian mengatur strategi agar dapat merekam pergerakan kuda yang simultan. Muybridge menggunakan Sequential Photographs untuk menciptakan ilusi pergerakan. Muybridge memotret pergerakan kuda menggunakan 12 kamera berbeda yang disebar sepanjang jalan yang dilalui kuda. Hasilnya, ternyata benar bahwa keempat kaki kuda diangkat ke atas tanah ketika berlari. Hasil potret Muybridge pun memberi sumbangsih besar dalam perkembangan studi gambar bergerak. Muybridge pun terus melakukan eksperimen pemotretan, jumlah kamera terus ditambah menjadi 24 kamera. Dia memotret hewan-hewan, lalu memotret pergerakan manusia. Muybridge berkeliling Eropa mempertunjukkan hasil-hasil potretannya. Akhirnya, pada suatu ketika, dia dan Marey bertemu. Hingga pada 1882, Marey menyempurnakan sebuah photographic gun camera yang dapat mengambil 12 potret dalam satu piringan (kamera gambar bergerak yang pertama). Inilah kamera gambar bergerak yang pertama ditemukan.

Temuan-temuan Marey dan Muybridge terus dikembangkan oleh para ilmuwan lain. Gambar bergerak terus disempurnakan. Dimulai dari disempurnakannya kamera hasil Marey, lalu ditemukan proyektor untuk memutar gambar bergerak pada layar lebar, dilakukannya pembuatan dan pemutaran film hitam-putih, dikembangkannya teknik-teknik pengambilan gambar dan trik kamera, kemudian industri perfilman menjadi semakin ramai dengan banyaknya bermunculan studio-studio film besar di Hollywood, lalu semakin berkembangnya teknologi perfilman yang membuat film menyertakan suara, warna, dan animasi serta 3 dimensi. Hingga saat ini, perkembangan teknologi film terus berkelanjutan.

Teknologi fim memiliki karakter yang spesial karena bersifat audio dan visual. Karakter ini menjadikan film sebagai cool media yang artinya film merupakan media yang dalam penggunaannya menggunakan lebih dari satu indera. Film pun menjadi media yang sangat unik karena dengan karakter yang audio-visual film mampu memberikan pengalaman dan perasaan yang spesial kepada para penonton/khalayak. Para penonton dapat merasakan ilusi dimensi parasosial yang lebih ketika menyaksikan gambar-gambar bergerak, berwarna, dan bersuara. Dengan karakter audio-visual ini juga film dapat menjadi media yang mampu menmbus batas-batas kultural dan sosial.

Kelebihan film adalah karakternya yang audio-visual menjadikan film lebih kuat dalam menyampaikan pesan kepada khalayak yang multikultur dan lintas kelas sosial. Perasaan dan pengalaman yang hadir saat menonton film pun menjadikan film sebagai media yang spesial karena dapat membuat khalayak terbawa ke dalam film bersama dimensi parasosial yang dihadirkan. Bagi para pembuat film, film merupakan media yang sangat representatif atas ide-ide kreatif mereka. Dan keakraban film terhadap khalayak menjadikan ide-ide dan pesan para pembuat film lebih gampang diterima khalayak.

Kekurangan dari film adalah sebagai sangat multitafsir. Diperlukan analisa tersendiri untuk memahami unsur-unsur semiotik yang ditampilkan dalam film. Kemampuan film menembus batas-batas kultural di sisi lain justru membuat film-film yang membawa unsur tradisional susah untuk ditafsirkan bahkan salah tafsir oleh penonton yang berasal dari kelompok budaya lain. Sedangkan kekurangan lain dari film adalah film-film yang dibuat dalam universalitas akan turut membentuk apa yang disebut common culture yang dapat mengikis lokalitas masyarakat tertentu. Film juga sangat memberikan efek pada orang yang menontonnya terutama anak-anak, sehingga untuk jenis film-film tertentu seperti horor, kekerasan dan pornografi akan memberikan pengaruh negatif bagi khalayak. Dari segi industri, industrialisasi dan komersialisasi film telah menjadikannya sebagai media yang dikomodifikasi. Sahingga saat ini banyak film-film yang hanya mengejar pangsa pasar dan profit semata, kualitas pun tidak dipedulikan. Ideologi yang diusung film pun tidak jelas, semuanya hanya mengejar

Para khalayak atau penonton film menggunakan film menggunakan lebih dari satu indera karena karakter film yang audio-visual. Para penonton jadi lebih terbawa dalam dimensi parasosial yang dihadirkan lewat film. Pola penggunaan yang seperti ini menjadikan penonton dapat menyamarkan – bahkan menghapus – batas-batas kultural dan sosial (misalnya bahasa) sehingga pesan yang disampaikan lewat film tetap akan dapat dimengerti oleh penonton.Industri film adalah industri yang tidak ada habisnya. Sebagai media massa, film digunakan sebagai media yang merefleksikan realitas, atau bahkan membentuk realitas. Cerita yang ditayangkan lewat film dapat berbentuk fiksi atau non fiksi. Lewat film, informasi dapat dikonsumsi dengan lebih mendalam karena film adalah media audio visual. Media ini banyak digemari banyak orang karena dapat dijadikan sebagai hiburan dan penyalur hobi bagi orang-orang tertentu.

Teknologi fim memiliki karakter yang spesial karena bersifat audio dan visual. Karakter ini menjadikan film sebagai cool media yang artinya film merupakan media yang dalam penggunaannya menggunakan lebih dari satu indera. Film pun menjadi media yang sangat unik karena dengan karakter yang audio-visual film mampu memberikan pengalaman dan perasaan yang spesial kepada para penonton/khalayak. Para penonton dapat merasakan ilusi dimensi parasosial yang lebih ketika menyaksikan gambar-gambar bergerak, berwarna, dan bersuara. Dengan karakter audio-visual ini juga film dapat menjadi media yang mampu menmbus batas-batas kultural dan sosial.

Kelebihan film adalah karakternya yang audio-visual menjadikan film lebih kuat dalam menyampaikan pesan kepada khalayak yang multikultur dan lintas kelas sosial. Perasaan dan pengalaman yang hadir saat menonton film pun menjadikan film sebagai media yang spesial karena dapat membuat khalayak terbawa ke dalam film bersama dimensi parasosial yang dihadirkan. Bagi para pembuat film, film merupakan media yang sangat representatif atas ide-ide kreatif mereka. Dan keakraban film terhadap khalayak menjadikan ide-ide dan pesan para pembuat film lebih gampang diterima khalayak.

Kekurangan dari film adalah sebagai control media film bisa jadi sangat multitafsir. Diperlukan analisa tersendiri untuk memahami unsur-unsur semiotik yang ditampilkan dalam film. Kemampuan film menembus batas-batas kultural di sisi lain justru membuat film-film yang membawa unsur tradisional susah untuk ditafsirkan bahkan salah tafsir oleh penonton yang berasal dari kelompok budaya lain.

Sedangkan kekurangan lain dari film adalah film-film yang dibuat dalam universalitas akan turut membentuk apa yang disebut common cuture yang dapat mengikis lokalitas masyarakat tertentu. Film juga sangat memberikan efek pada orang yang menontonnya terutama anak-anak, sehingga untuk jenis film-film tertentu seperti horor, kekerasan dan pornografi akan memberikan pengaruh negatif bagi khalayak. Dari segi industri, industrialisasi dan komersialisasi film telah menjadikannya sebagai media yang dikomodifikasi. Sahingga saat ini banyak film-film yang hanya mengejar pangsa pasar dan profit semata, kualitas pun tidak dipedulikan. Ideologi yang diusung film pun tidak jelas, semuanya hanya mengejar

Para khalayak atau penonton film menggunakan film menggunakan lebih dari satu indera karena karakter film yang audio-visual. Para penonton jadi lebih terbawa dalam dimensi parasosial yang dihadirkan lewat film. Pola penggunaan yang seperti ini menjadikan penonton dapat menyamarkan – bahkan menghapus – batas-batas kultural dan sosial (misalnya bahasa) sehingga pesan yang disampaikan lewat film tetap akan dapat dimengerti oleh penonton.

Fungsi Film

Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama adalah ingin memperoleh hibutan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif.

Karakteristik Film

    1. Layar yang luas/lebar
    2. Pengambilan Gambar pemandangan menyeluruh
    3. Konsentrasi penuh
    4. Identifikasi Psikologis

Jenis-jenis Film

  1. Film Cerita : Jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang tenar film tenar dan didistribusikan sebagai barang cadangan
  2. Film Berita : Peristiwa fakta, yang benar-benar terjadi
  3. Film Dokumenter : Karya ciptaan mengenai kenyataan.
  4. Film Kartun : Dikonsumsi untuk anak-anak.

Film Sebagai Media Budaya

Melalui film sebenarnya kita banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di mana kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan kita menjadi mengetahui bahwa budaya masyarakat ini begini dan budaya masyarakat itu begitu, terutama melalui film.

Film juga dilihat sebagai media sosialisasi dan media publikasi budaya yang ampuh dan persuasif. Buktinya adalah ajang-ajang festival film semacam Jiffest (Jakarta International Film Festival), Festival Film Perancis, Pekan Film Eropa, dan sejenisnya merupakan ajang tahunan yang rutin di selenggarakan di Indonesia. Festival Film Indonesia dalam beberapa tahun ini mulai dihidupkan lagi setelah terhenti cukup lama.

Film-film yang disajikan dalam pelbagai ajang festival tadi telah berperan sebagai duta besar kebudayaan mereka sendiri, untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang memiliki budaya yang tentunya berbeda dengan dari mana film tersebut berasal. Duta besar yang tidak birokratis.

Begitu pula dengan audiensnya. Mereka dengan sadar datang menonton film salah satunya untuk mengenal budaya pihak lainnya. Mereka menonton film Iran karena ingin tahu bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat Iran dan berbagai dinamikanya. Belum lagi film Ceko, Hongaria, Cile, Korea Utara, dan sebagainya.

Unsur-unsur dan nilai budaya ini yang sering luput dari sajian televisi. Media televisi tidak bisa atau lebih tepatnya tidak merasa perlu untuk menyajikan nilai budaya sebagaimana yang tersajikan melalui media film.

Film untuk itu dipahami sebagai representasi budaya. Film digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat.

Ketika kita melihat film Ali Topan maka pada dasarnya kita sedang melihat cerminan dari budaya remaja yang terjadi pada era di mana Ali Topan itu hidup. Dan ketika kita menonton film Ada Apa Dengan Cinta maka kita juga sedang melihat representasi budaya remaja era Dian Sastro dan Nicolas Saputra.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan representasi

Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosialn dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Cultural studie memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri.

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Dalam pembicaraan kita, representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.

Konsep representasi sendiri dilihat sebagai sebuah produk dari proses representasi. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan (atau lebih tepatnya dikonstruksikan) di dalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi.

Dalam kasus film sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.

Junaidi, dalam artikelnya Film Mandarin dan Identitas Budaya Indonesia, mendiskusikan perspektif Cultural Studies yang melihat fenomena film Mandarin dalam kaitannya dengan pembentukan identitas bangsa Indonesia. Di sini Junaidi percaya bahwa film, sebagaimana halnya produk budaya lain, memegang peran yang penting dalam merepresentasikan siapa itu orang Indonesia.

Dalam risetnya tersebut Junaidi menceritakan sejumlah temuannya. Misalkan bahwa representasi orang China di beberapa film masih bersifat negatif dan simplisistis. Masyarakat China dilihat sebagai masyarakat yang homogen dan tak berubah. Kompleksitas identitas masyarakat China dan interaksi mereka dengan etnis lain seringkali terabaikan. Sikap masa bodoh, praduga, dan stereotipe negatif akhirnya terakumulasi.

Padahal jika mau jujur, belum tentu masyarakat China pada realitas kesehariannya itu sebagaimana yang ada di dalam film atau sinetron kita. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa apa yang disajikan oleh film tadi belum tentu sesuai dengan realitas yang aslinya. Film bagaimanapun hanya menyajikan representasi dari realitas.

Representasi di sini harus lebih dilihat sebagai upaya menyajikan ulang sebuah realitas. Dalam usaha menyajikan ulang ini tentunya sampai kapan juga tidak akan pernah menyajikan dirinya sebagai realitas yang aslinya. Film sebagai representasi budaya hanyalah sebagai second hand reality.

Belum lagi jika kita membedah lebih lanjut bagaimana proses produksi film sebagai proses representasi tadi. Di balik proses representasi ada siapa saja yang terlibat di dalamnya, dalam rangka kepentingan apa, dan bagaimana representasi yang mereka lakukan. Jadi yang namanya representasi itu sangat sulit untuk dibilang netral atau alamiah.

Jika anda suka menonton film laga ala Hollywood seringkali digambarkan bagaimana orang Amerika memulu sebagai pahlawan pembela kebenaran. Dan sebaliknya yang namanya penjahat atau teroris adalah orang Timur Tengah, atau orang Rusia. Film ini adalah sebuah upaya representasi yang cenderung manipulatif.

Apakah kalau yang namanya teroris itu adalah melulu orang Timut Tengah? Ya, kata film Hollywood. Karena sangat jarang film Hollywood menggambarkan bahwa teroris itu orang Amerika. Sebaliknya coba anda tanyakan kepada orang Iran, siapa yang mereka sebut sebagai teroris? Jawabannya kemungkinan justru orang Amerika itu sendiri.


Tanggapan

  1. masyarakat sekarang sangat tergantung dengan media televisi. dimana segal hiburan mudah di dapat dan di akses. tetapi hal tersebut membuat masyarakat menjadi kecanduan televisi tanpa memperdulikan dampak bagi perilakunya, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan sekitarnya. dampak dari televisi sendiri ada yang positif dan negatif. tinggal bagaimana individu tersebut menagkap segala informasi yang ada di televisi. individu haruslah pandai2 menyaringnya. dan tidak mudah terpengaruh olehnya. karena media tv memiliki agenda setting.

    nah…membicarakan masalah perfilman memang sangat menarik. dapat dilihat dari negri kita sendiri. dimana lambat laun perfilman di Indonesia semakin tidak berkualitas. sajian hiburan yang tidak layak tayang dipaksa untuk ditayangkan dan dinikmati publik tanpa mementingkan nilai2 moral di Indonesia. terutama pemilihan segmentasi penonton tidak dipertimbangkan oleh si pembuat film.
    disini merupakan kecaman keras bagi para orang tua. diaman orang tua harus pandai2 mengontrol anak2nya. film berpengaruh besar terhadap perilaku anak. karena sekarang sangat bebas menonton film tanpa ada rambu2 tertentu untuk melihatnya.

  2. film ternyata juga bisa membentuk paham idealis yang mempengaruhi bagi penontonnya dari baik menjadi buruk atau sebaliknya,,bagaimana film hollywood menggambarkan teroris harus orang-orang timur tengah kok enggak orang kulitputih saja…..wahhh bahaya neh…..bisa-bisa merusak karakter bangsa dan rentan menimbulkan konflik SARA….WAH AYAHAB ILAKES,,,

  3. Film yang memiliki kekuatan yang sama dengan tayangan di televisi memang sangat efektif untuk memberikan edukasi, hiburan, maupun persuasi kepada masyarakat. Oleh karena itu, kaitan antara film dengan masyarakat sangat erat. Untuk di Indonesia, fungsi agenda setting melalui media film mulai luntur dengan berubahnya juga orientasi para pembuat film. Saat ini peran-peran di balik layar film mulai mengikuti apa kemauan dari masyarakat. Bukan lagi kepada fungsi utamanya yakni edukasi, hiburan, atau juga persuasi. Hal itu dikarenakan oleh ekonomi politik media yang ada di dalam industri film Indonesia. Masyarakat Indonesia yang lebih menyukai film yang berbau sex langsung dimanfaatkan oleh para pelaku industri film dengan membuat film horor yang dibumbui sex. Bahkan malah terkesan lebih banyak unsur sex nya dibanding horornya. Kita sebagai masyarakat Indonesia tidak perlu menutup mata bahwa memang ituah yang laku di Indonesia, yaitu film-film yang berbau sex. Hal tersebut dikarenakan negara Indonesia mayoritas beragama Islam yang sangat ketat dalam tindak asusila ataupun unsur sex. Berbeda dengan film barat yang lebih sering menciptakan inovasi-inovasi untuk membentuk masyarakatnya. Bukan malah mengikuti kemauan masyarakat. Dengan begitu, maka film-film barat lebih banyak mengandung unsur inovatif dibanding dengan film Indonesia. Meskipun demikian, saya tetap mendukung para pelaku industri film untuk selalu menciptakan film-film Indonesia yang berkualitas dan bisa diperhitungkan.

  4. menurut saya,
    Film dapat menjadi salah satu media komunikasi yang efektif kepada masyarakat sesuai dengan apa pesan yang ingin disampaikan pembuat film itu sendiri. Film dapat menimbulkan pesan-pesan yang berbeda kepada siapa saja yang menonton, semua kembali pada individu masing-masing. Kita sebagai audience harus aktif untuk menilai mana film yang berkualitas dan tidak. Banyaknya film Indonesia yang kurang bermutu memang menjadi penghambat industri film ini berkembang dengan baik. Ini harus dirubah dari para sineas dalam membuat film dengan diselimuti pesan-pesan moral kepada masyarakat, tidak hanya mengunggulkan keuntungan semata. Karena film dapat mempengaruhi penonton dalam keadaan sadar maupun tidak. Jadi, saya sangat berharap kelak muncul kembali film-film Indonesia yang berkualitas, yang mampu membuat penonton kembali mencintai film Indonesia.
    Amin.. 🙂

  5. Film sebagai alat pembawa pesan sangat di pengaruhi oleh berbagai kepentingan baik individu maupun kelompok.Bahkan suatu pesan yang di bawa oleh media tersebut sangat berpengaruh tergantung dari penerima pesan yaitu penonton.tergantung pemirsa yang meyaring suatu pesan yang di sampaikan,begini maksudnya kalau penerima itu beranggapan baik ya mereka menerima pesan dengan baik.Tetapi kalau buruk ya jadi buruk.Film dengan yang ada di TV memang lebih mementingkan suatu aspirasi untuk menunjukkan suatu kebenaran di bandingkan dengan TVyang mementingkan hiburan semata.

  6. Film sebagai bagian dari media massa dapat memuat berbagai pesa, tergantung dari bagaimana para sineas mengemas film tersebut sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat diterima, dan dipahami oleh para penikmat film. seperti yang kita ketahui, perfilman indonesia saat ini sedang di ramaikan oleh film2 bergenre horor-porno atau komedi-porno. dapat dikatakan seperti itu, karena seperti yang kita tahu, film2 tersebut lebih menonjolkan adegan2 yang tidak seharusnya ada pada film2 tersebut. sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh para pembuat film tersebut menjadi tidak terbaca dengan dihadirkannya pemain dan adegan2 yang sama sekali tidak berhubungan dengan judul film tersebut. namun tidak dapat dipungkiri, ternyata sangat banyak masyarakat indonesia yang menyukai film2 tersebut. padahal, film2 seperti itu termasuk salah satu hal yang bisa merusak moral anak bangasa. semoga sineas2 indonesia lebih bisa melahirkan karya2 yang lebih baik dan lebih bermanfaat nantinya.

  7. Diantara media yang ada di masyarakat, film merupakan salah satu media yang ampuh untuk mengirimkan pesan pada audience. film dapat ditonton oleh jutaan masyarakat dan bisa dilihat berkali-kali, karena film nantinya dikemas dalam vcd atau kita bisa mengunduhnya secara gratis di internet.
    walau di indonesia sendiri masih banyak film yang berbau porno, namun sineas muda yang menghasilkan film berkualitas juga masih banyak.
    seperti film sang pemimpi. di film itu mengandung pesan agar manusia berani bermimpi dan memperjuangkan untuk merealisasikan mimpinya. pesan itu lah yang dikemas dalam sebuah film secara apik oleh Riri Riza. dari cerita yang sederhana namun mampu mengirimkan pesan yang luar biasa. penonton dibuat ikut terlibat dan seolah-olah dekat dengan cerita yang ada di film. ditambah dengan gambar dan kualitas suara yang maksimal. inilah kekuatan film, sehingga film menjadi bagian dari media massa, karena dapat memberi pengaruh pada masyarakat luas.

  8. film memang tdk sepenuhnya mengandung sesuatu yg berbau hiburan, akan tetapi setiap film yg d produksi mengandung berbagai kontrol sosial. keberadaan film sendiri saya anggap efektif dalam hal sarana lain sebagai media, karena tdk semua org dapat memahami dengan mendalam jika hanya menonton tayangan berita, membaca koran/majalah, ato mendengarkan radio hal itu d akibatkan mugkin karena ketika mereka melakukan aktivitas td sedang dalam keadaan kurang maksimal memahami isi informasi itu, berbeda halnya ketika menonton film, terdapat waktu khusus untuk menontonnya, dan bs d katakan waktu yg khusus pula, meskipun tdk harus d bioskop tetapi kurang lbh seperti itu. pemahaman akan isi film menurut saya mendapatkan jangkauan yg lebih baik baik drpd aktivitas d atas, tentunya hal tersebut karena brbagai faktor, misal aktornya, aktrisnya, ceritanya, dsbnya…
    maka dgn itulah saya anggap film juga msh layak menjadi salah satu sarana media yang mengandung kontrol sosial.

  9. film bukan hanya dijadikan sebuah media hiburan saja tetapi kini fim juga bisa digunakan sebagai kontrol sosial. dimana kini banyak sekali muncul film2 yang sangat menyinggung pemerintah ataupun benar – benar mengkritisi soal sosial masyarakat.

    selain itu film juga bisa di pakai unk media pembelajaran bagi siapapun karena oada dasarnya smua orang pasti suka melihat film. so film bisa dijadikan media kreatif untuk memberikan kritik, pendidikan, ataupun pandangan pada publik

    tri Sulistiowati

  10. Dian Kurniasari R (08220295)
    IKOM VI-D

    Kalau boleh mengtip ucapan slah satu panutan saya di dunia perfilman yaitu om Dedy Mizwar…”jangan memikirkan kau akan mendapat berapa keuntungan dari film yang kau buat tapi apa yang akan kau ajarkan melalui film-mu”…nah sayangnya hanya sedikit orang yang berpikiran seperti itu…sejauh ini hanya mereka yang bergerak film indie saja yang mau mendobrak hal tersebut. Sekarang film-film komersial semua berbau horror ataupun komedi seks…dan itu bikin orang malas mau nonton…habis tidak berkualitas !!!

  11. kok saya bingung baca postingan nieh yah..tulisannya banyak yang diulang-ulang..

    bukunya pak john tentang komunikasi massa juga bahas nieh..
    setuju dah..

    film adalah bagian dari media massa..
    dan kehidupan sosial masyarakat adalah unsur penting dalam ide-ide film..

  12. media massa mempunyai tiga misi utama, mendidik, menghibur dan megnajak…. saya kira hal itu semua ada didalam Film, jd tidak salah klo FIlm sebgai bagian dari media massa

  13. mudah2an film produksi dalam negeri bisa lebih mendidik masyarakat indonesia yaa…salam persahabatan..

  14. Mudah-mudahan ya Saya bisa jadi fotografer ya, Do’ain Saya ya Saudara-Saudari Sebangsa Setanah Air indonesia.

  15. […] https://husnun.wordpress.com/2011/04/27/film-sebagai-bagian-dari-media-massa/ […]

  16. .manfaat film bagi remaja dan masyarakat umum apa ajach ?’
    .bagaimana pendapat anda meningkatkan film di indonesia ?.

  17. sudah banyak juga memang film2 yang di tayangkan tidak mempunyai standart untuk kebutuhan dari makna film tersebut.

  18. Bung ..bisa sertakan sumber referensinya ?

  19. wah tugasnya mantap neh

  20. sangat bermanfaat tulisannya

  21. Sangat bermanfaat tapi gak ada referensinya takut dibilang plagiarisme

  22. waduh kakak tulisannya sangat bagus tapi sayang sekali gak ada daftar pustakanya ^^


Tinggalkan komentar

Kategori