Oleh: husnun | Januari 21, 2014

Pengalaman Jadi Korban Banjir

Oleh Husnun N Djuraid (eidi cetak dimuat di Jawa Pos tanggal 20 Januari 2014)

Masalah yang paling mendesak dalam penanganan bencana  adalah membantu para korban, baik yang masih berada di rumahnya maupun yang sudah pindah ke lokasi pengungsian. Korban bencana berada pada posisi yang tidak berdaya, baik secara fisik maupun psikis. Rumah dan harta benda porak poranda tak berbentuk , tak sedikit yang kehilangan tempat tinggal dan harta benda yang disapu bencana. Tinggal di pengungsian menambah penderitaan karena suasana dan lingkungannya yang serbakekuarangan membuat hidup semakin tertekan. Dalam banyak kasus, korban bencana kerap luput dari perhatian untuk mendapat bantuan yang layakm sehingga mereka harus menempuh jalan sendiri untuk menyambung hidup. Banyak korban bencana yang kemudian menjadi pengemis di jalan-jalan agar bisa memenuhi kebutuhan.

Saya punya pengalaman menjadi korban banjir bandang Semarang tahun 1990. Ketika sebagian besar masyarakat lelap dalam tidur di tengah malam, tiba-tiba saja air bah menerjang masuk ke dalam rumah. Rumah saya yang berada di kompleks Perumnas Sampangan berbentuk flat berlantai dua lebar tiga meter, berada tidak jauh dari Kaligarang. Sungai ini mengalirkan air dari daerah atas seperti Ungaran dan Gunungpati melewati kawasan barat kota Semarang sebelum bermuara ke laut di dekat pelabuhan Tanjung Emas.

 Secara geografis kota Semarang dibagi menjadi dua wilayah, wilayah pegunungan yang disebut kota atas dan kota bawah. Beberapa wilayah di kota bawah menjadi langganan banjir, terutama di dekat laut yang menjadi langganan banjir akibat hujan maupun akibat rob air laut. Meskipun kota Semarang tidak hujan, kalau wilayah atas hujan deras, maka air Kaligarang pun meluap. Tengah malam itu kami sekeluarga dikejutkan suara orang yang memberitahukan datangnya banjir. Ternyata benar, saat turun air menerobos rumah dengan derasnya. Tak butuh waktu lama banjir setinggi dua meter lebih  sudah memenuhi lantai bawah rumah dan tinggal beberapa senti meter sampai ke lantai dua. Banjir bandang itu tak berlangsung lama,tak sampai dua jam, sehingga tidak sempat menyelamatkan barang-barang penting.

Banjir kilat itu menenggelamkan dan menghancurkan apa saja yang dilewati. Suasana sangat mencekam, karena malam itu PLN memutuskan aliran listriknya, dari kejauhan terdengar orang-orang berteriak minta tolong. Kami sekeluarga menunggu dengan cemas di lantai dulu, sambil berharap air tidak naik terus ke lantai dua. Setelah air surut muncul penderitaan baru, sisa lumpur yang sangat tebal menutup lantai rumah dan menempel di dinding.

Penderitaan sesungguhnya dimulai setelah banjir usai, karena tidak bisa berbuat banyak, listrik mati dan air PDAM pun tak mengalir semakin menyulitkan.  Dalam kondisi yang sulit itu pasukan TNI datang mendirikan tenda yang diubah menjadi dapur umum untuk memenuhi konsumsi makan bagi korban banjir. Setiap pagi, siang dan petang kami harus antre ke dapur umum untuk mendapat ransum makanan. Pasukan TNI tersebut begitu cekatan membantu warga dalam menyiapkan makanan dan membersihkan lingkungan. Pada siang hari para korban sibuk membersihkan rumah dari kotoran sisa banjir, sebaliknya pada malam hari suasananya seperti kota mati karena sampai beberapa hari listik dipadamkan.

 Setelah suasana agak membaik, bantuan mulai berdatangan dari berbagai organisasi dan kelompok masyarakat.  Mereka membagikan bahan makanan, pakaian, obat-obatan dan uang. Tapi bahan makanan itu tidak bisa dimanfaatkan karena tidak ada minyak tanah – waktu itu masih belum ada Elpiji –  dan bahan lain untuk memasak. Meskipun demikian, jatah makanan dari dapur umum TNI tetap menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan makanan.

Dalam kondisi tak berdaya para korban sangat membutuhkan bantuan untuk kebutuhan mendasar, makan dan minum. Padahal dalam bencana tak sedikit jatuh korban yang membutuhkan bantuan ekstra untuk perawatan, baik di rumah sakit maupun di lokasi. Maka bantuan kesehatan untuk korban sangat dibutuhkan untuk penyembuhan fisik. Itu belum termasuk kebutuhan penyembuhan psikis yang butuh waktu panjang.

Kondisi itulah yang saat ini dialami para korban banjir di Jakarta, Manado dan daerah lain. Yang tinggal di rumah dilanda kecemasan, jangan-jangan ketinggian air meningkat dan semakin menenggelamkan rumah mereka. Korban yang tinggal di pengungsian pun hidup dalam kondisi yang memrihatinkan.

Banjir  Jakarta tahun ini agak berbeda,  bukan soal lokasi genangan yang semakin meluas dan waktu banjir yang lebih lama, tapi siapa yang salah di balik banjir tersebut. Gubernur DKI Jokowi seolah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab ketika sebagian besar wilayahnya dilanda banjir. Masyarakat menagih janji Jokowi saat kampanye lalu yang akan membebaskan Jakarta dari banjir. Ternyata membebaskan Jakarta dari banjir tak semudah yang direncanakan, karena masalahnya sangat kompleks, karena bukan hanya masalah orang Jakarta tapi sudah menjadi masalah nasional.

Banjir kali ini bertepatan dengan tahun politik menjelang Pileg dan Pilpres yang menempatkan Jokowi sebagai salah satu capres potensial. Banyak survei menempatkan Jokowi di posisi tertinggi sebagai capres dengan tingkat keterpilihan tertinggi. Ketika Jakarta direndam banjir, para lawan politik Jokowi memiliki amunisi ampuh untuk menyerangnya. Liputan media pun mengarah pada siapa yang bersalah di balik musibah tersebut, siapa lagi kalau bukan sang gubernur.

Ketika masyarakat larut dalam kesedihan akibat bencana, para politisi justru memanfaatkan untuk berperang merebut pengaruh. Kalau mereka bertarung merebut pengaruh dengan berlomba memberi bantuan kepada para korban, itu tindakan mulia, karena bisa mengurangi penderitaan korban. Para korban tak peduli, apakah makanan, pakaian dan perlengkapan yang mereka terima berasal dari politis – lengkap dengan logo partai dan gambar caleg – yang penting kebutuhan mereka terpenuhi. Ironisnya tak sedikit yang memanfaatkan bencana ini untuk menjatuhkan lawan politiknya . Tak elok rasanya berebut pengaruh di atas penderitaan rakyat yang seharusnya dibantu.


Tanggapan

  1. Semua akan lebih baik kalau kita berusaha, kita harus punya keyakinan untuk bisa maju..

  2. wah ini benar yah? terima kasih sekali infonya. , Aba

  3. Setiap tahun di bulan jan dan feb pasti selalu kena banjir rumah ane (x_x), nasib…nasib…


Tinggalkan komentar

Kategori