Oleh: husnun | April 12, 2012

Perlunya Standar Kompetensi Wartawan

 Oleh : Husnun N Djuraid *

Kapanpun zamannya, wartawan dituntut harus kompeten. Yakni, berwawasan keilmuan, profesional dan beretika. Jika tidak, maka matilah jurnalisme ini. ( H. Rosihan Anwar – 1922 – 2011)

KOMPETENSI merupakan tolok ukur dari sebuah profesi, tidak terkecuali profesi wartawan. Masalah kompetensi wartawan dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi pembicaraan serius pihak-pihak yang berhubungan dengan pers, menyusul perkembangan pers nasional yang mencemaskan. Dewan Pers bahkan sudah menyusun sebuah standar kompetensi untuk menguji kemampuan wartawan dalam menjalankan profesinya agar tidak keluar dari koridor etik yang sudah ditetapkan. Setelah penyusunan standar itu kemudian dilanjutkan kegiatan dalam tataran praktis dengan melakukan uji kompetensi wartawan di seluruh Indonesia. Kompetensi wartawan dibagi menjadi tiga jenjang, wartawan utama, wartawan madia dan wartawan muda. Uji kompetensi ini dilaksanakan oleh Dewan Pers bersama organisasi profesi wartawan, perusahaan pers dan perguruan tinggi.

Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan, kompetensi wartawan sebagai sebuah kehormatan bagi wartawan dalam menjalankan tugasnya yang dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum, demokrasi, kemanusiaan, disiplin keilmuan dan kode etik. Kompetensi ini bisa melindungi wartawan dari ancaman yang bisa mengganggu tugas profesionalnya, sebaliknya juga bisa menjadi pelindung bagi masyarakat. Pers yang bebas adalah dambaan masyarakat, bahkan menjadi indikator bagi demokrasi di sebuah negara. Demokratis atau tidak sebuah negara ditentukan oleh kebebasan persnya. Sedangkan bagi pers sendiri, kebebasan dalam menjalankan tugasnya adalah sebuah kehormatan karena dipercaya untuk  menjadi pelayan masyarakat.

Saat memasuki era reformasi, sebenarnya pers Indonesia sudah mendapatkan kebebasan yang diinginkan, menyusul turunnya presiden Suharto dari jabatannya. Pemerintah Orde Baru tidak memberikan ruang gerak bagi pers untuk menjalankan perannya dengan maksimal. Kebebasan pers adalah ‘’barang mewah’’ bagi wartawan kala itu. Pemerintah melalui Menteri Penerangan membuat aturan SIUPP (Surat Ijin Penerbitan Pers) yang bisa memberangus pers setiap saat. ‘’Hantu SIUPP’’ ini benar-benar efektif menjalankan perannya untuk mengendalikan pers agar tidak mendapatkan kebebasannya. Kalau ada pers yang sedikit saja berani mengritik pemerintah, maku palu godam SIUPP pun dijatuhkan. SIUPP dicabut dan medianya tidak bisa terbit.

Setelah rezim Orde Baru tumbang, pers Indonesia mendapatkan kemerdekaan yang sudah sangat lama diimpikan. Pemerintah yang berusaha demokratis memberikan kebebasan kepada pers dengan menghapus aturan-aturan yang dianggap menjadi penghambat, bahkan departemen yang mengurusi pers dihapuskan. Pers Indonesia mendapatkan kebebasan yang sebebas-bebasnya, sehingga mereka bisa memberitakan apa saja tanpa mengindahkan etika. Kebebasan tanpa profesionalisme dan etika itu kemudian menjadi masalah baru bagi pers Indonesia. Masyarakat merasakan kebebasan yang kebablasan sehingga muncul tudahan pers memiliki peran baru sebagai pembunuh karakter. Kalangan pers sendiri merasakan hal yang sama, sehingga muncul kesadaran untuk melakukan perbaikan. Kondisi pers yang bebas tanpa kontrol itu tidak bisa dibiarkan dan harus segera dicari  jalan keluarnya.

Berangkat dari keresahan itu, kalangan pers kemudian melakukan berbagai upaya untuk membuat suatu standar yang bisa dijadikan acuan profesi para wartawan. Tokoh pers seperti Jacob Utama dan Dahlan Iskan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan mempersiapakn standar kompetensi wartawan. Keterlibatan dua tokoh ini dinilai sangat strategis, karena memiliki banyak perusahaan pers yang tersebar di seluruh Indonesia. Kalau wartawan yang berada pada perusahaan miliki dua tokoh tersebut sudah menjalankan kompetensi profesi, maka mayoritas wartawan di Indonesia bisa dianggap kompeten. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya dibuatlah Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang ditandatangani oleh organisasi profesi wartawan, AJI, IJTI dan PWI.

Kalangan pers menyambut antusias lahirnya SKW ini. Dalam peringatan Hari Pers Nasional di Palembang tahun 2010, dibuatlah Piagam Palembang yang berisi berbagai peraturan yang harus diratifikasi oleh perusahaan pers di Indonesia. Piagam Palembang ditandatangani oleh 19 kelompok perusahaan pers yang dengan demikian mereka sepakat untuk menjalankan aturan yang termuat di dalamnya. Selain SKW yang harus dilaksanakan oleh perusahaan pers, juga ada Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Profesi Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik.

Langkah besar yang harus dilakukan oleh Dewan Pers adalah melaksanakan uji kompetensi wartawan di seluruh Indonesia agar mereka bisa memiliki kualifikasi sesuai dengan SKW. Bagi wartawan SKW merupakan bagian dari upaya yang sistematis dan terukur untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas. Wartawan juga bisa mengukur kemampuan dan pengetahuannya sebagai bagian untuk menegaskan posisinya dalam perusahaan. Sebaliknya, bagi perusahaan pers standar ini bisa digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja wartawan disesuaikan dengan jenjang kompetensi yang dimiliki. Standar ini juga bisa digunakan oleh perusahaan pers untuk melakukan rekrutmen wartawan agar mendapatkan wartawan yang diinginkan.

Bagi masyarakat, kompetensi ini bisa digunakan sebagai kontrol terhadap pers, terutama perilaku wartawan yang menyimpang dalam menjalankan profesinya. Kalau ada wartawan yang menjalankan profesinya tapi tidak memiliki SKW, masyarakat bisa menolaknya. Untuk saat ini SKW digunakan sebagai standar untuk menentukan seorang wartawan kompeten atau tidak. Dewan Pers sudah memiliki data base wartawan di seluruh Indonesia yang sudah memiliki sertifikasi SKW yang bisa diakses siapa saja melalui website Dewan Pers. Hak-hak masyarakat terhadap pers inilah yang harus terus disosialisasikan, baik oleh Dewan Pers maupun oleh para pelaku jurnalistik sendiri. Kebebasan pers yang tanpa batas selama ini terbukti merugikan banyak pihak, termasuk kalangan pers sendiri. Harus ada kemauan untuk melibatkan masyarakat sebagai ‘’pengontrol’’ pers agar tidak melenceng terlalu jauh dari kode etiknya. Banyak yang berharap pada SKW ini agar bisa menjadi perangkat untuk memperbaiki kehidupan pers di Indonesia agar lebih baik dan bermartabat.

*) Husnun N Djuraid, wartawan Malang Post, dosen jurnalistik Unmuh Malang


Tanggapan

  1. Kunjungan Sore.. Salam Kenal Buat Semuanya.. 🙂

  2. Weleh weleh.. Begini ya.. Ketika Orang Berilmu memberikan Ilmunya hanya ada 1 Kalimat “Semoga ilmu itu Berguna Untuk Orang Lain”.. 🙂

  3. Weleh weleh.. Begini ya.. Ketika Orang Berilmu memberikan Ilmunya hanya ada 1 Kalimat “Semoga ilmu itu Berguna Untuk Orang Lain”.. 🙂

  4. […] Lantunan takbir syahdu menggema di telinga, memberi warna dalam kehidupan kita. […]

  5. Mau nanya ni, apakah seorang wartwan yg tidak memiliki SKW, berhak mengankat suatu berita tanpa konsultasi terlebih dahulu kepada nara sumber nya. Trims

  6. wartawan untuk jaman sekarang memang harus mempunyai skill lain, tidak hanya untuk meliput doang memang. untuk bersaing dengan wartawan lainnya.


Tinggalkan komentar

Kategori