Oleh: husnun | November 23, 2009

Pelajaran dari Hotel Ambacang

SUATU malam yang dingin setelah hujan mengguyur. Saya menelusuri jalan-jalan kota Padang sambil naik delman, mulai dari depan Plasa Andalas, Pasar Raya dan pusat kota. Di malam yang senyap itu masih tampak sisa gempa 30 Oktober lalu berupa puing-puing bangunan yang berserakan. Kusir delman kemudian membawa saya ke depan kantor Denpom yang jalannya gelap. Di situ ada satu bangunan yang menjadi icon gempa padang : Hotel Ambacang, di sebelahnya ada hotel Bumi Minang. Hotel ini memberi kenangan khusus bagi saya, karena dua kali menginap di sini saat menyertai Arema tur ke Padang.

Pak tua di samping saya kemudian membuka pembicaraan – seolah-olah dia jadi guide yang siap memberi penjelasan apa saja kepada saya. Hampir semua hotel di pusat kota ambruk, tak bisa dipakai. Hotel Bumi Minang memang masih berdiri tegak, tapi dalamnya sudah remek. Begitu juga hotel lain berada di sepanjang pantai, tak satu pun yang bisa ditempati. ’’Cuma hotel tempat Anda menginap yang masih utuh,’’ terangnya.

Ternyata benar, hotel yang saya tempati selama di Padang, Hotel Hangtuah, tetap berdiri tegak. Kalau ada kerusakan itu hanya kecil dan tidak berpengaruh terhadap penghuninya. ’’Kok bisa, hotel Hangtuah tidak rusak kena gempa, padahal bangunannya biasa-biasa saja, sudah tua lagi. Hotel yang lain kan lebih bagus dan bangunannya lebih kuat,’’ tanya saya.

Dia tidak menjawab secara langsung, tapi dia berusaha mengalihkan pembicaraan, pas saat delman melintas di depan Hotel Ambacang. ’’Kalau di hotel ini, semua tamu boleh masuk, laki-perempuan bisa masuk satu kamar,’’ terangnya penuh semangat. Lo, apa hubungannya dengan gempa ? ’’Kalau di hotel Anda menginap, tidak semua tamu boleh masuk. Kalau ada pria-perempuan mau menginap, harus menunjukkan surat nikahnya, keduanya harus suami istri resmi. Kalau tidak ada suratnya, tidak boleh menginap,’’ katanya masih dengan semangat Urang Awak.

’’Makanya hotel itu selamat, tidak roboh terkena gempa, padahal bangunan sekitarnya hancur, kayak Plasa Andalas di depannya itu.’’ Setelah berpikir sejenak, saya baru mudeng ucapan Pak Kusir ini. Ya, hotel Hangtuah tempat saya menginap memang tidak terlalu mewah, karena memang hotel kelas melati, tapi cukup layak untuk dihuni, meskipun harus mengeluarkan rupiah lebih banyak. Suatu saat saya melihat seorang perempuan harus mengeluarkan akta nikahnya saat mau check in. Begitu ketatnya aturan di hotel ini. Tapi mungkin itulah yang menyebabkan hotel ini mampu bertahan dari persaingan dengan hotel ’’modern’’ dan yang lebih hebat mampu bertahan dari guncangan gempa. Padahal gempa Sumbar cukup dahsyat, konon angkanya lebih tinggi dari 7,9 skala richter seperti yang disampaikan selama ini.

Gempa Sumbar – seperti bencana-bencana yang lain – seharusnya memberi banyak pelajaran kepada kita tentang musibah. Tuhan menurunkan musibah karena tiga hal : ujian, peringatan dan laknat. Kalau kita tengah berusaha untuk meningkatkan iman kemudian datang musibah, entah apa namanya, gempa, banjir, longsor, termasuk bencana pribadi, itu tandanya Tuhan tengah menguji kita. Apakah kita mampu menerima ujian itu. Kalau lulus, iman kita semakin meningkat, sebaliknya kalau tidak, kita harus membuat fondasi iman yang lebih kuat lagi.

Mungkin ada di antara kita yang tengah mencoba untuk bermaksiat kecil-kecilan, sekedar coba-coba saja, kemudian musibah datang, itu tandanya Tuhan memberi peringatan. Maksiat tidak bisa dipakai untuk uji coba, karena sekali mencoba akan mencoba lagi dan sulit untuk kembali. Setan tak pernah rela membiarkan Anak Adam terbebas dari godanya yang menjerumuskan ke dasar neraka. Kalau Tuhan sudah menurunkan peringatan, segeralah kembali ke jalan yang benar. Yang terakhir, Tuhan akan menurunkan bencana sebagai laknat terhadap para ahli maksiat, baik perorangan maupun kelompok, baik pelakunya maupun yang memberi fasilitas maksiat.

Bencana akan diturunkan kalau kemaksiatan sudah merajalela. Kalau hotel sudah berubah fungsi sebagai tempat esek-esek, kalau prostitusi merebak di mana-mana, minuman keras sudah jadi konsumsi sehari-hari, korupsi sudah jadi tradisi, orang tidak kenal lagi mana yang haram dan halal, tunggulah laknat Tuhan. Laknat itu bisa saja diturunkan sekarang di dunia, tapi bisa juga ditunda sampai di akhirat nanti. Gempa bumi dan bencana alam yang lain merupakan bagian dari musibah yang diturunkan Tuhan. Gempa Padang Sumbar, Tsunami Aceh atau gempa di tempat lain, mungkin belum sedahsyat bumi gonjang-ganjing seperti yang digambarkan dalam film 2012.

Sebenarnya itu belum sampai pada kiamat kubro – saat dunia dan seisinya hancur luluh, bisa jadi sekedar kiamat sughro. Dan kiamat itu tidak bisa diramal, karena itu hak prerogratif Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Seharusnya dengan banyaknya bencana alam – ditambah gambaran film fiksi 2012 – kita semakin cerdas menyikapinya. Kita masuk yang mana : cobaan, peringatan atau laknat. Sebelum semuanya terjadi, mari bertobat.


Tanggapan

  1. bencana memang tak selamanya bisa dihitung secara logika matematis, ada dimensi ilahiyah yang tak terjangkau oleh akal

  2. di dekat rumah juga ada hotel yang harus pakai buku nikah, menurut saya lumayan merepotkan, karena saat travelling sambil bawa buku nikah riskan. takut hilang……
    suami istri lihat KTP saja, khan sama alamatnya…

  3. hmmm sayangnya banyak yang tidak mau mengaitkan antara bencana dan maksiat… coba liat di facebook … apa ini tanda2 sekuler 🙂

  4. Pak, kok lama ndak kelihatan… 😀

  5. ^_^ pak husnun, apa kabar…??

  6. Kalau ditambah “Surat Bebas Korupsi” disamping persyaratan surat nikah, jangan2 itu Hotel bisa mulussss tanpa retak2 sama sekali saat Gempa yaa..

    Lama gak berkunjung. Apa kabar Mas ? 🙂


Tinggalkan Balasan ke Nug Batalkan balasan

Kategori